Senin, 06 Oktober 2008

Mereka yang semakin susah kala minyak mahal


Ini salah satu korban akibat minyak tanah yang mahal, langka....lagi...


Mereka yang Semakin Susah Setelah Minyak Tanah Mahal dan Langka
Harus Mencari Rencek di Tengah Tebangan Hutan

Karena minyak tanah semakin mahal dan sulit didapat, sebagian warga memilih kembali memakai kayu bakar. Meski kayu itu harus dicari dengan jarak yang jauh.
SRI WIYONO,Blora
Di tengah deru suara gergaji mesin yang meraung di tegah hutan jati di wilayah BPKH Ngliron KPH Randublatung, sejumlah perepuan setengah baya nampak asyik memunguti sisa-sisa ranting jati yang patah setelah batangnya ambruk. Dengan cekatan, tangan-tangan perempuan itu mengambil dan menumpuk kayu yang berhasil mereka kumpulkan tak jauh tempatnya berdiri.
Setelah ranting yang bisa mereka ambil habis, baru tumpukan kayu itu mereka masukkan ke karung plastic. Kebanyakan karung yang digunakan adalah bekas karung pupuk. Setelah karung penuh, kemudian diangkut ke pinggir hutan. Setelah terkumpul minimal lima karung, mereka baru beranjak pergi. Kemudian satu persatu karung itu diangkut ke pinggir jalan raya yang jaraknya ratusan meter dari tempat mereka memungut ranting-ranting itu. Setelah semua karung teronggok di pinggir jalan raya, mereka baru beristirahat sambil menunggu kendaraan yang mau mengangkut mereka dan kayu-kayunya lewat. Biasanya, adalah bus jurusan Blora –Randublatung atau kol bak terbuka. ‘’Ongkosnya, untuk satu karung Rp 1.000,’’ ujar Parni, warga Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo yang ternyata sudah berumur 80 tahun. Karena kebutuhan, tubuh rentanya masih dia paksa untuk mencari kayu bakar di hutan. Padahal, jarak rumahnya dengan lokasi pencarian sekitar 10 kilometer. ‘’Begini ini (mencari kayu) ya tidak tiap hari. Kalau sudah habis baru cari lagi,’’ ujarnya, sambil menambahkan untuk lima karung kayu yang dia dapat bisa digunakan memasak selama maksimal 10 hari.
Nenek yang mengaku tinggal bersama dengan anak, menantu dan beberapa cucunya itu menceritakan, mencari kayu adalah pekerjaan yang sudah umum dilakukan warga di desanya. Sebab, lokasinya desa tersebut tak jauh dari hutan. Hanya, untuk mencari kayu bakar tidak mudah, kalau tidak ada tebangan. ‘’Makanya, meski jauh kalau ada tebangan, warga beramai-ramai datang. Kalau tidak ada tebangan, nanti dikira mencuri,’’ ungkapnya.
Usahanya itu, setidaknya bisa mengurangi kebutuhan untuk membeli minyak tanah. Saat ini, kata dia, di pengecer di desanya, minyak tanah bisa mencapai Rp 3.500 per liter. Meski harganya sudah tinggi, minyak tanah juga tidak selalu tersedia karena sering telat. Padahal, untuk keperluan memasak keluarganya, minimal membutuhkan satu liter minyak tanah. Sehingga kalau 10 hari Parni harus mengeluarkan yang Rp 35.000 hanya untuk minyak tanah.
Namun, kalau mencari kayu dia hanya mengeluarkan ongkos maksimal Rp 7.000. Ongkos itu untuk membayar ongkos berangkat Rp 1.000, dan ongkos pulang Rp 6.000. sebab, satu karung kayu ditarik Rp 1.000, sedangka dia membawa 5 karung kemudian ditambah ongkos untuk dirinya sendiri. Kita berangkat pagi sekitar pukul 07.00 dan baru pulang sekitar pukul 14.00,’’ akunya.
Hal yang sama juga disampaikan Pariti,45, warga sedesa Parni. Dia mengatakan, karena masih cukup muda, dia mengaku sering mencari kayu seperti itu. Bahkan dia tidak menunggu kayunya habis. Bagi dia, stok kayu merupakan sebuah kebutuhan tersendiri yang harus dipenuhi. Dia beralasan, karena mengandalkan kayu bakar, maka semakin banyak kayu yang dia punyai semakin baik. ‘’Kalau musim hujan mau cari kayu kemana. Jadi lebih baik mengumpulkan dulu,’’ ujarnya.
Baginya, membeli minyak tanah sebagai buang-buang uang. Sebab, di kanan kiri desanya ada kayu bakar yang melimpah. Dia mengaku selama warga tidak malas, dan mau berusaha sedikit ‘ngoyo’ kayu bakar akan didapat. Ibu tiga anak itu berprinsip lebih baik uang untuk membeli minyak tanah dibelikan beras. ‘’Lha klau di hutan banyak kenapa harus beli minyak tanah. Lebih baik untuk beli beras,’’ cetusnya.
Pekerjaan yang dilakoni itu sebenarnya mengandung resiko. Sebab, mereka bekerja di tengah pekerjaan penebangan berjalan. Sehingga kemungkinan para pencari rencek ini tertimpa pohon jati yang roboh karena ditebang tetap ada. Sebab, saat gergaji mesin merraung-raung para pencari rencek ini terus bersiaga. Begitu batang pohon mulai goyang dan roboh mereka langsung berhamburan mendekati kayu yang baru ditebang itu. Selanjutnya mereka rebutan untuk mengambil ranting-rantingnya.
Hanya, mereka mengatakan, selama ini belum pernah ada kasus seperti itu. Para pencari rencek ini sepakat bahwa dengan selalu waspada mereka yakin tidak tertimpa pohon. Selama ini para pencari rencek itu mengaku mencari kayu untuk digunakan sendiri, tidak untuk dijual. (*)

Protes Rakyat


Rakyat yang menjadi penambang minyak tradisional pernah protes soal harga jual minyak ke Pertamina, mereka dipaksa menjual minyak hasil tambangnya ke Pertmina melalui koperasi yang menjadi mitra Pertamina. karena mereka membeli terlalu rendah, mereka protes, namun hasilnya juga belum baik...


Pertamina Diprotes Penambang Minyak Tradisional

BLORA – Kantor Pertamina EP Region JAwa Area Cepu kemarin didatangi perwakilan penambang minyak tradisional dari Desa Hargomulyo dan Wonocolo Kecamatan Kedewan,Bojonegoro. Para penambang yang tergabung dalam koperasi Patrajasa Jaya tersebut protes terhadap minimnya harga jual minyak mentah yang mereka terima.
Ada sekitar 10 perwakilan warga penambang yang datang ke Cepu kemarin. Mereka dipimpin ketua koperasi Patrajasa Jaya Sribowo dan coordinator aksi Juwari. Dua orang ini mengaku mewakili 1.000 lebih anggota koperasi yang kemarin mempercayakan pertemuan kepada para perwakilan tersebut. ‘’Semual kami ingin membawa satu truk massa, namun untuk sementara biar kami dulu yang mewakili,’’ kata Juwari, saat orasi di depan kantor Pertamina.
Sedikitnya ada empat tuntutan yang mereka sampaikan, yakni area sumur minyak tradisional pengelolaannya diserahkan para penambang. Kemudian, anggota koperasi bebas menjual minyak yang ditambangnya ke pihak manapun. Selain itu penambang minta tidak terikat dengan Pertamina (dalam mengelola sumur) serta minta pemerintah melalui BP Migas memberi ijin koperasi Patrajasa Jaya untuk kerjasama dengan Pertamina mengelola sumur minyak tradisional. ‘’Karena selama 20 tahun ini, Pertamina saya nilai telah gagal menyejahterakan rakyat,’’ tambay Sribowo.
Minyak mentah yang ditambang para penambang tradisional, ujar Bowo tidak dihargai sebagaimana mestinya. Saat ini, kata dia, satu drum minyak mentah atau seitar 210 liter hanya dibeli Pertamina seharga Rp 47.500. padahal. Para penambang minta harga lebih tinggi. Mereka membandingkan jika dijual ke pihak lain, bisa laku Rp 90 ribu lebih per drumnya. ‘’Kalau kita suling sendiri dijadikan solar satu liter bisa laku Rp 2.600 sampai Rp 3.000 per liter,’’ ungkapnya.
Hanya, sayangnya, kata dia, menyuling sendiri yang menjual ke pihak di luar Pertamina dinilai melanggar aturan. ‘’Bahkan, minyak kami banyak disita. Dulu jaman Belanda penambang diperhatikan, kok jaman merdeka malah tertindas,’’ tandasnya.
Perwakilan penambang ini kemarin diterima dua orang perwakilamn Pertamina, yakni Benny Koentoro dari bagian hukum dan pertanahan serta Rio Utomo dari bagian kerjasam KUD. Benny menyatakan, kalau para penambang protes ke Pertamina dikatakan salah alamat. Karena, kata dia, Pertamina hanya operator, sedang pemilik sumur adalah pemerintah. ‘’Karena itu soal harga, perijinan dan sebagainya pemerintah yang menentukan. Bukan kita,’’ katanya.
Namun, lanjutnya, kalau koperasi Patrajasa Jaya sudah punya ijin lengkap, Pertamina bisa membantu para penambang. ‘’Tapi, lengkapi dulu perijinannya. Semua ada prosedurnya,’’ kata dia. Usai diterima perwakilan penambang bubar. Namun mereka berjanji jalau tuntutannya tidak dikabulkan akan datang dengan massa yang lebih besar.

sumur minyak dan rakyat



Yang akan aku bagi di sini adalah tulisan-tulisanku yang pernah kubuat...tentang sumur minyak..

salah satunya ironi yang terjadi di ladang minyak....mungkin tak terbayangkan, tapi itulah kondisi riilnya...


Ironi Semanggi, Desa Penghasil Minyak Miskin (1)
Sudah 15 Tahun Tidak Punya Balai Desa

Sungguh ironis nasib Desa Semanggi Kecamatan Jepon. Setiap hari menghasilan ratusan barel minyak dari 10 sumur yang ada di desa ini. Namun, desa ini tetap miskin dan mengenaskan. Bahkan, balai desa saja desa ini tidak punya.

Sebuah bangunan joglo khas jawa nampak kumuh. Semak belukar memenuhi halaman bangunan itu. Tidak ada jendela, hanya kusen yang masih berdiri, dan pintu usang yang tetap menempel di kusen. Pintu kayu itu juga tak kalah usangnya. Masuk bangunan itu, lebih mengenaskan lagi. Lantai abu-abu bangunan tersebut sudah banyak yang lepas.
Di ruangan ukuran 9x9 meter itu hanya ada sebuah kentongan tergantung di pojok ruangan. Juga, satu papan tulis melamin putih yang juga usang bertuliskan papan informasi. Sementara tepat di tengah ruangan, tercecer bekas buah-buahan dimakan kelelawar, juga kotoran kelelawar berceceran di lantai. ‘’sejak 15 tahun lalu, gedung ini sudah tidak terpakai,’’ ujar Kasno,33, Kepala Desa Semanggim saat mendampingi koran ini menengok bangunan tersebut.
Bangunan itu ternyata bekas balai desa Semanggi. Melihat kondisinya sangat memprihatinkan. Lebih mengenaskan lagi, bangunan lebih kecil di belakang pendopo itu. Ukuran sekitar 9x5 meter. Ruangan ini dari kayu, juga dindingnya. Masih berlantai tanah. Ada beberapa sekat di ruangan ini untuk membagi bangunan menjadi beberap ruangan. ‘’Ini dulu adalah kantornya, dan tadi pendoponya,’’terang Kartono sambil tersenyum.
Begitulah memang salah satu kengenasan di Desa Semanggi. Padahal tak jauh dari bangunan yang dulu balai desa itu terdapat bangunan sumur minyak milik Pertamina yang besar dan megah. Untuk mencapai ‘balai desa’ itu, juga melewati samping bangunan yang tampak angkuh itu. Sebab, bangunan di sekelilingnya kecil dan jelek, sedangkan dia tinggi dan mewah.
Karena letaknya di desa terpencil maka jangan harap ada kemewahan. Warganya hidup sederhana sebagai petani di lahan kering tadah hujan. Menurut Kasno, desa yang dipimpin sejak September 2007 itu mempunyai sekitar 2.500 penduduk dengan 600 kepala keluarga (KK). Rumah warga juga mayoritas sederhana, dari papan kayu, hanya orang-orang sedikit ‘berada’ yang mempunyai lantai kemarik atau kayu, sebab kebanyakan rumah warga masih berlantai tanah.
Sejak 15 tahun lalu, administrasi desa dilakukan di rumah Kades dan perangkat masing-masing. sebab, para perangkat desa tidak pernah ngantor. Kalau butuh administrasi, warga harus satu persatu menemui perangkat yang dibutuhkan di rumahnya masing-masing. ‘’Untuk administrasi ya cari Pak Sekdes dulu baru ke saya. Namun, untuk buat KTP langsung ke saya bisa,’’ ujar bapak dua anak itu.
Kondisi seperti itu bukan keinginan dia. Namun, menurut Kasno begitulah yang dilakukan bertahun-tahun sampai dia menjabat sebagai kades. Karena itu, kantornya setiap hari adalah di rumah. Itupun setiap hari dia tinggal untuk menggarap lahan tanah bengkoknya sebagai Kades yang hanya dua bahu atau sekitar 1,6 hektar. ‘’saya sudah melapor ke Camat. Juga sudah mengajukan proposal bantuan ke Pertamina, namun sampai sekarang belum ada hasilnya,’’ ungkap dia.
Kasno tahu setiap desa, termasuk Semanggi mendapat alokasi dana desa (ADD). Tahun lalu dapat Rp 40 juta. Namun dana itu habis untuk keperluan desa lainnya. Dia hanya tahu jumlahnya namun dia tidak tahu penggunaan rincinya. ‘’Karena saat itu saya belum menjabat,’’ tuturnya.
Dia berharap segera punya balai desa agar warga bisa terlayani administrasi dengan baik. Arsip-arsip desa, kata dia, lebih enak kalau disimpan dib alai desa agar tidak tercecer. Disa sendiri juga ingin ngantor seperti layaknya Kades. ‘’Yang penting kalau masyarakat butuh bisa cepat terlayani,’’ tegasnya.
Letak Desa Semanggi lebih dari 15 kilometer arah selatan Kota Blora. Menuju desa ini harus menahan nafas karena kondisinya. Jalannya makadam dan berdebu saat dilewati kendaraan. Bila hujan, jangan tanya berapa kubik lumpur yang melapisi jalan ini. Tapi itulah potret Semanggi, salah satu desa penghasil minyak di Blora. Sumur minyak di desa ini dikelola Pertamina Region Jawa Area Cepu.
Humas Pertamina Area Cepu, Anggadewi Widyastuti mengatakan, ada sekitar 10 sumur yang beroperasi di desa ini. Produksinya sekitar 386 barel perhari (Bopd). Hitungan kasar, sebut saja satu barel dijual 100 dollar, maka akan menghasilan 3.860 dollar perhari. Kalau satu dollar sama dengan Rp 9 ribu, maka desa ini setiap hari menyumbang pendapatan Rp 347,4 juta. Namun kondisi desanya tetap saja miskin.
Pertamina menurutan Angga juga setiap tahun selalu mendapat kucuran dana community development (comdev). Bentuknya disalurkan untuk bidang pendidikan seperti beasiswa, bantuan perlengkapan sekolah, rehab sekolah, rehab musala, bidang kesehatan dan lainnya. ‘’Kami juga partisipasi kegiatan social kemasyarakatan di sana,’’ ujarnya. (*)

Bangunan Sekolahnya Juga Mengenaskan
Yang juga mengenaskan dari Desa Semanggi adalah kondisi dua sekolah dasar (SD) nya. Dua SD di dua dusun sama-sama memiliki bangunan yang sebenarnya tidak layak untuk tempat belajar mengajar.


Sejumlah anak berseragamn merah putih nampak berlarian di halaman sebuah sekolah di Dusun Ngodo Desa Semanggi. Saat bel terdengar, anak-anak tersebut begegas masuk kelas untuk kembali belajar. Jangan membayangkan sebuah ruang belajar yang nyaman dan sejuk karena banyak jendela. Anak-anak ini belajar dalam fasilitas yang amat terbatas. ‘’Hanya kelas 6 yang menempati ruangan kelas yang bisa dikatakan layak,’’ ujar Purwono, Kepala SDN 1 Semanggi.
Pernyataan Kasek yang sudah menjabat di sekolah yang sekarang mempunyai 126 murid memang benar. Karena selain kelas 6, kondisi kelasnya memang memprihatinkan. Untuk kelas 5 sampai kelas 3 misalnya, harus menempati satu local yang disekat-sekat. Bangunan ini adalah bangunan lama. Dindingnnya dari papan kayu yang sudah bolong di sana-sini. Belum juga sekat antarruangan yang juga tak kalah buruknya. Maka, jangan heran kalau aktivitas di kelas sebelah bisa dilihat jelas di kelas yang lain.
Masih belum cukup. Atap ruangan itu masih terbuat dari seng. Jadi panasnya bukan main berada dalam ruangan itu saat siang hari dan matahri bersinar terik. Kalau hujan, gaduhnya minta ampun. Tapi, dari fasilitas seperti itulah anak-anak desa Semanggi ini belajar. ‘’Masih untung dindingnya banyak yang bolong, jadi udara segar masih bisa masuk,’; ujar Purwono bercana.
Geser dari local tersebut, kondisinya makin membuat terenyuh. Betapa tidak, anak-anak kelas 1 dan 2 harus belajar di sebuah bangunan paling reyot di sekolah tersebut. meski atap dari genteng namun lantainya membuat orang yang melihat mengelus ada. Karena saking banyaknya lantai yang hilang, ruangan kelas itu bak berlantai tanah. Sehingga, agar tidak berdebu, setiap hari lantai itu disiram air. Saat koran ini melongok dalam kelas tersebut, masih terlihat sisa air siraman yang masih menggenag di beberapa titik. Untuk menghindari air, siswanya mengangkat sepatu ke bagian bawah bangku. Bangku di kelas ini juga sudah usang. ‘’Ini memang kondisi kami,’’ ujar Purwono menegaskan.
Apakah tidak ada bantuan ? ‘’Pernah sekali pada 2006 lalu dari provinsi,’’ ungkapnya. Sedang dari Dinas Pendidikan Nasional (diknas) Blora sejak menjadi kepala sekolah di sekolah itu, dia mengaku belum pernah menerima. ‘’Padahal, setiap tahun saya selalu mengajukan proposal bantuan. Tapi sampai sekarang belum,’’ ujarnya.
Bantuan dari pemprov itu, kata dia, diwujudkan menjadi satu local yang disekat menjadi dua ruangan. Satu untuk ruangan kelas 6 dan satu untuk kantor. Karena saat dia datang kali pertama, sekolah itu belum mempunyai kantor. Purwono mengakui pada April lalu dibantu peralatan kantor oleh Pertamina. Di antaranya adalah 6 set meja dan kursi guru dan tiga almari.
Di tengah harapan yang tak kunjung datang itu, Purwono mengaku sedikit terhibur dengan prestasi anak didiknya dan dedikasi para guru yang luar biasa. Dia menyebut, hasil ujian nasional (UAN) anak didiknya cukup menggembirakan. Pada 2006, anak didiknya menempati peringkat tiga terbaik ke Kecamatan Jepon. Kemudian tahun 2007 turun ke peringkat ke tujuh. ‘’Padahal kita bersaing dengan 47 SD lain se Jepon,’’ akunya bangga.
Dedikasi guru, ungkapnya, ditunjukkan dengan semangat tak pantang menyerah untuk mengajar. Padahal, rumah para guru sekolah tersebut sangat jauh dari lokasi. Hanya ada satu guru yang asli Semanggi. Sisanya dari Blora, Jepon dan lainnya. Purwono sendiri tinggal di Kecamatan Jepon. Untuk sampai di sekolah dia harus menempuh jarak 23 kilometer atau 46 kilometer pergi pulang. ‘’Tapi, para guru di sini tidak ada yang telat. Sebelum jam 07.00 mereka sudah datang. Itu luar biasa.
Dia sangat berharap ada bantuan yang datang. Misalnya dana alokasi khusus (DAK) untuk rehap sekolah. Sebab, sekolah-sekolah lain mendapat. ‘’Kita sudah sering di surve dan didatam namun pas pembagian dana kita selalu tertinggal,’’ tegasnya.
Satu sekolah lagi ada dukuh Semanggi, yakni SDN 2 Semanggi. Muridnya hanya 66 orang. Kondisinya juga tak kalah mengenaskan. Bahkan, salah satu local bangunan di sekolah ini pernah nyaris ambruk. Sebagian atap dan dindingnya sudah ambrol. Melihat kondisi itu, baru Pertamina membantu rehap gedung.
Padahal sekolah ini hanya berjarak puluhan meter dari banguna sumur Pertamina yang kokoh tersebut. Dan, untuk sampai ke lokasi umur itu, pasti melewati depan sekolah ini karena letaknya persis di pinggir jalan. Sama seperti SDN 1 Semanggi, SDN ini juga berharap mendapat bantuan dari diknas atau pihak manapun, sehingga bangunan sekolah menjadi layak dan nyaman untuk dijadikan tempat belajar mengajar. ‘’Kami juga berharap sekolahan di Semanggi ini juga diperhatikan. Karena dua sekolah itulah yang menjadi tumpuan pendidikan anak-anak kami,’’ ujar Kades Semanggi Kasno saat dimintai komentarnya soal kondisi sekolah di desanya yang masih memprihatinkan tersebut. (*)

Caption foto :
MENGENASKAN : Anak-anak siswa kelas 2 SDN1 Semanggi saat belajar di ruang kelas yang memprihatinkan.

Selamat Pagi


Selamat pagi...melalaui blog ini aku ingin berbagi soal Blok Cepu yang banyak dibicarakan itu, tapi tentunya info yang aku bagi sebatas pengetahuanku sebagai seorang jurnalis yang kebetulan di tugaskan liputan di Kabupaten Blora. sebab, Cepu adalah wilayah kecamatan yang masuk Kabupaten Blora provinsi Jawa Tengah.

soal Blok Cepu Blora hanya sebagian kecil saja, sebab ladang minyak di blok ini justru ada di wilayah Kabupaten Bojonegoro provinsi Jawa timur, yang memang berbatasan langsung dengan Blora, khususnya kecamatan cepu...

pengin tahu info lainnya ikuti terus blog ini...

oh ya, kenapa aku pakai selamat pagi..., karena aku pengin penikmat blog ini selalu semangat seperti ketika semangat saat pagi hari....